AI, Deepfake, dan Ancaman Baru bagi Politik Dunia

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia politik internasional mengalami guncangan besar bukan hanya karena konflik antarnegara atau isu ekonomi global, tapi juga karena satu faktor baru yang semakin menakutkan: kecerdasan buatan (AI). Teknologi yang awalnya digadang-gadang sebagai penolong manusia justru kini memunculkan wajah lain yang lebih gelap. Salah satu fenomena paling mencolok adalah kemunculan deepfake, sebuah teknologi berbasis AI yang mampu memanipulasi wajah, suara, bahkan gerak tubuh seseorang dengan sangat realistis.

Kalau dulu propaganda politik identik dengan poster, siaran radio, atau tayangan televisi yang dimanipulasi, kini permainan sudah jauh lebih canggih. Dengan deepfake, seorang politisi bisa terlihat seolah-olah sedang mengucapkan kalimat yang sebenarnya tidak pernah ia ucapkan. Bayangkan dampaknya di era digital sekarang, di mana informasi menyebar secepat cahaya lewat media sosial. Dalam hitungan menit, sebuah video palsu bisa viral, membentuk opini publik, bahkan memengaruhi jalannya pemilu di suatu negara.

Kasus semacam ini sebenarnya sudah mulai muncul. Beberapa tahun lalu, publik dikejutkan dengan video deepfake yang menampilkan tokoh-tokoh terkenal berbicara hal-hal sensitif. Meski akhirnya terbukti palsu, kerusakan sudah terlanjur terjadi. Kredibilitas tokoh itu hancur, masyarakat bingung membedakan mana fakta dan mana manipulasi. Inilah ancaman nyata bagi politik dunia: hilangnya kepercayaan.

Politik pada dasarnya bertumpu pada trust antara pemimpin dan rakyat. Namun, ketika realitas bisa dipalsukan dengan sangat meyakinkan, trust itu bisa runtuh seketika. Seorang kandidat yang tadinya unggul dalam survei bisa jatuh hanya karena satu video deepfake yang tersebar menjelang hari pemungutan suara. Lebih parah lagi, aktor-aktor politik global seperti negara pesaing bisa memanfaatkan teknologi ini untuk campur tangan dalam politik domestik negara lain. Bukan lagi lewat spionase tradisional, tapi lewat manipulasi digital yang sulit dilacak.

Isu ini semakin relevan karena dunia sedang memasuki era pemilu masif. Amerika Serikat, India, hingga negara-negara Eropa akan menggelar pesta demokrasi dalam beberapa tahun ke depan. Bagi banyak pihak, pemilu bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi juga soal perebutan pengaruh global. Maka tak heran jika kekhawatiran terhadap deepfake semakin menjadi-jadi. Bayangkan saja, sebuah video palsu yang dirilis sehari sebelum pemilu, menampilkan kandidat favorit melakukan skandal besar. Meski video itu palsu, dampak emosionalnya bisa memengaruhi jutaan pemilih dalam sekejap.

Di sisi lain, deepfake juga memperparah fenomena yang disebut “banjir informasi”. Ketika publik disuguhi begitu banyak konten setiap hari, kemampuan mereka untuk memverifikasi kebenaran semakin lemah. Akibatnya, banyak orang jadi sinis: semua dianggap palsu, semua dianggap manipulasi. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan krisis demokrasi. Kalau rakyat tidak lagi percaya pada informasi yang ada, maka legitimasi politik pun akan runtuh.

Tentu saja, dunia internasional tidak tinggal diam. Beberapa negara sudah mulai membuat regulasi khusus untuk mengatur penggunaan deepfake. Uni Eropa misalnya, lewat AI Act, berusaha membatasi ruang gerak teknologi ini agar tidak disalahgunakan. Amerika Serikat pun sudah mengingatkan bahaya manipulasi AI dalam kampanye politik. Namun, regulasi sering kali berjalan lebih lambat dibanding perkembangan teknologi. Sementara itu, para pembuat deepfake terus menemukan cara baru untuk mengakali sistem deteksi.

Indonesia sendiri juga tidak kebal dari ancaman ini. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia punya pemilih yang sangat aktif di media sosial. Itu artinya, potensi penyebaran hoaks berbasis deepfake bisa sangat besar. Jika tidak diantisipasi, kita bisa menghadapi situasi di mana opini publik digiring bukan oleh fakta, tapi oleh ilusi digital yang sengaja diciptakan pihak tertentu.

Lalu apa solusinya? Jawabannya mungkin tidak sederhana. Regulasi memang penting, tapi literasi digital masyarakat juga tak kalah krusial. Rakyat harus dibekali kemampuan untuk berpikir kritis, mengecek sumber, dan tidak mudah percaya dengan konten yang viral begitu saja. Selain itu, perusahaan teknologi juga punya tanggung jawab besar untuk membangun sistem deteksi yang lebih canggih, agar konten deepfake bisa segera ditandai sebelum menimbulkan kerusakan lebih luas.

Pada akhirnya, ancaman deepfake bagi politik dunia bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal masa depan demokrasi itu sendiri. Dunia internasional kini sedang diuji: apakah kita bisa beradaptasi dengan era baru di mana realitas dan kepalsuan makin sulit dibedakan? Atau kita justru akan terseret dalam pusaran manipulasi digital yang bisa menghancurkan fondasi politik global?

Satu hal yang jelas, AI adalah pisau bermata dua. Di satu sisi ia membawa kemajuan luar biasa, tapi di sisi lain bisa jadi senjata berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Politik internasional saat ini berada di persimpangan jalan, dan cara kita merespons deepfake akan menentukan ke arah mana demokrasi dunia melangkah.

#TERBARU

#TEKNOLOGI

CakWar.com

Dunia

Politik Internasional

Militer

Acara

Indonesia

Bisnis

Teknologi

Pendidikan

Cuaca

Seni

Ulas Buku

Buku Best Seller

Musik

Film

Televisi

Pop Culture

Theater

Gaya Hidup

Kuliner

Kesehatan

Review Apple Store

Cinta

Liburan

Fashion

Gaya

Opini

Politik Negeri

Review Termpat

Mahasiswa

Demonstrasi

© 2025 Cak War Company | CW | Contact Us | Accessibility | Work with us | Advertise | T Brand Studio | Your Ad Choices | Privacy Policy | Terms of Service | Terms of Sale | Site Map | Help | Subscriptions