Gibran Digugat Rp125 Triliun, Drama Politik yang Mengguncang Publik

Panggung politik Indonesia kembali diguncang kabar mengejutkan. Kali ini bukan soal kebijakan ekonomi, bukan pula reshuffle kabinet, melainkan gugatan hukum yang melibatkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Seorang warga bernama Subhan melayangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuntutan yang bikin alis terangkat: Rp125 triliun. Angka fantastis ini sontak jadi bahan perbincangan di ruang publik, media, hingga jagat maya.

Isu yang diangkat bukan main-main, menyangkut keabsahan ijazah SMA Gibran. Subhan menilai bahwa ijazah luar negeri yang dimiliki Gibran tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Bagi penggugat, jabatan Wakil Presiden tidak boleh diduduki jika syarat pendidikan dasarnya saja dianggap tidak sah. Dalam petitumnya, Subhan meminta pengadilan menyatakan Gibran tidak memenuhi syarat sebagai pejabat negara, sekaligus menuntut ganti rugi senilai ratusan triliun rupiah untuk disetor ke kas negara.

Sidang perdana digelar pada 8 September 2025. Gibran tidak hadir langsung, melainkan diwakili Jaksa Pengacara Negara. Namun Subhan menolak kehadiran kuasa hukum tersebut dengan alasan gugatan ini ditujukan kepada Gibran secara pribadi, bukan sebagai pejabat negara. Perdebatan soal kedudukan hukum ini membuat majelis hakim menunda sidang hingga pekan berikutnya. Drama awal sidang saja sudah cukup untuk membuat publik menahan napas.

Gugatan ini seolah menjadi batu uji bagi sistem hukum Indonesia. Apakah pengadilan berani mengoreksi legalitas pejabat setinggi Wakil Presiden? Atau justru gugatan akan dianggap berlebihan dan ditolak karena tidak berdasar? Apa pun hasil akhirnya, peristiwa ini sudah menjadi catatan penting dalam perjalanan demokrasi modern kita.

Nominal Rp125 triliun jelas memicu kontroversi. Banyak yang menilai angka ini mustahil dan tak masuk akal. Namun Subhan punya alasannya sendiri. Menurutnya, uang itu akan menjadi kompensasi moral dan simbolis untuk seluruh rakyat Indonesia, yang jika dibagi rata akan mendapat sekitar Rp5.000 per kepala. Meski terkesan satir, tuntutan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap prosedur politik yang dianggap tidak transparan.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum yang juga ikut digugat menegaskan bahwa ijazah Gibran sudah memenuhi syarat administratif. Gibran menempuh pendidikan di Orchid Park Secondary School Singapura, lalu melanjutkan kuliah hingga meraih gelar sarjana. Dokumen yang diajukan saat mendaftar sebagai calon wakil presiden telah diverifikasi dan dinyatakan sah. Artinya, secara formal Gibran tidak melanggar aturan yang berlaku.

Di sisi lain, kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang pentingnya pendidikan formal dalam dunia politik. Apakah syarat administratif seperti ijazah benar-benar bisa dijadikan tolok ukur kualitas seorang pemimpin? Atau sebenarnya kepemimpinan lebih ditentukan oleh kapasitas, visi, dan kemampuan mengambil keputusan? Perdebatan ini makin panas ketika menyangkut figur Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang selama ini sering dipandang sebagai penerus dinasti politik.

Media sosial pun ramai dengan berbagai komentar. Ada yang menganggap gugatan ini lucu dan absurd, ada pula yang memandangnya sebagai kritik serius terhadap sistem politik kita. Tak sedikit warganet menjadikannya bahan meme, menyoroti angka Rp125 triliun yang seolah di luar nalar. Namun di balik canda publik, ada pesan penting bahwa rakyat ingin transparansi dan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

Gibran sendiri sejauh ini tetap fokus menjalankan tugas kenegaraan. Ia sempat menghadiri sejumlah agenda resmi dan meluncurkan program terkait digitalisasi pendidikan. Sorotan publik padanya justru semakin besar, bukan hanya karena posisinya sebagai wapres termuda, tetapi juga karena setiap gerak-geriknya kini berada dalam radar publik.

Jika ditarik ke ranah yang lebih luas, kasus ini menunjukkan bagaimana politik modern bergerak di era keterbukaan informasi. Seorang warga tunggal bisa menggugat pejabat tinggi negara, dan gugatan itu harus diproses sesuai aturan hukum. Demokrasi kita memberi ruang pada suara sekecil apa pun untuk menantang kekuasaan.

Akhir dari kasus ini masih tanda tanya. Bisa jadi gugatan ditolak mentah-mentah, bisa juga berkembang menjadi perdebatan panjang soal aturan pencalonan pejabat tinggi. Apa pun hasilnya, satu hal sudah pasti: isu ini berhasil mengubah arah percakapan publik, dari ruang warung kopi hingga forum akademis, dari grup WhatsApp keluarga hingga lini masa Twitter.

Di tengah semua keramaian ini, masyarakat diingatkan kembali bahwa politik bukan sekadar soal kursi dan kekuasaan, tetapi juga soal legitimasi dan kepercayaan. Dan di era digital, legitimasi itu bukan hanya datang dari surat keputusan resmi, melainkan juga dari penerimaan publik yang semakin kritis.

Mungkin Rp125 triliun hanyalah angka yang terlalu tinggi untuk dipercaya. Tapi resonansinya jelas: rakyat ingin keadilan, keterbukaan, dan aturan yang ditegakkan dengan konsisten. Selebihnya, kita tinggal menunggu bagaimana panggung sidang berikutnya akan dimainkan.

#TERBARU

#TEKNOLOGI

CakWar.com

Dunia

Politik Internasional

Militer

Acara

Indonesia

Bisnis

Teknologi

Pendidikan

Cuaca

Seni

Ulas Buku

Buku Best Seller

Musik

Film

Televisi

Pop Culture

Theater

Gaya Hidup

Kuliner

Kesehatan

Review Apple Store

Cinta

Liburan

Fashion

Gaya

Opini

Politik Negeri

Review Termpat

Mahasiswa

Demonstrasi

© 2025 Cak War Company | CW | Contact Us | Accessibility | Work with us | Advertise | T Brand Studio | Your Ad Choices | Privacy Policy | Terms of Service | Terms of Sale | Site Map | Help | Subscriptions