Kasus Penculikan Wiji Thukul dan Hilangnya Suara yang Menggema

Indonesia punya sejarah panjang tentang suara-suara kritis yang dibungkam. Salah satu yang paling membekas adalah hilangnya Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis yang berani melawan lewat kata-kata. Nama Wiji Thukul tak hanya dikenal di kalangan sastrawan, tetapi juga di hati mereka yang percaya pada kebebasan dan demokrasi. Puisinya sederhana, lugas, tapi penuh daya ledak. Ia menulis tentang ketidakadilan, tentang kemiskinan, tentang rakyat kecil yang suaranya jarang didengar. Dan dengan cara itu, ia jadi ancaman bagi kekuasaan yang takut dikritik.

Hilangnya Wiji Thukul pada akhir 1990-an masih menjadi misteri yang tak terpecahkan hingga sekarang. Banyak yang percaya ia menjadi korban penculikan dalam gelombang penindasan terhadap aktivis pro-demokrasi menjelang tumbangnya Orde Baru. Sampai hari ini, jasadnya tidak pernah ditemukan. Nama Wiji Thukul masuk dalam daftar aktivis yang hilang dan belum kembali, bersama beberapa pejuang lainnya.

Kasus ini terus menjadi bahan perbincangan hangat dalam politik negeri karena ia menyimpan luka kolektif. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghilang begitu saja di tanah airnya sendiri, tanpa ada kejelasan dari negara. Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi kita dibangun di atas fondasi yang masih retak, penuh utang sejarah yang belum dilunasi.

Lebih dari dua dekade berlalu, namun setiap kali bicara soal reformasi dan demokrasi, nama Wiji Thukul selalu kembali disebut. Puisinya “Hanya ada satu kata: Lawan” menjadi semacam mantra bagi gerakan rakyat. Kalimat itu sederhana, tapi maknanya mengguncang. Ia mengajarkan bahwa melawan ketidakadilan bukan pilihan, melainkan kewajiban. Itulah warisan terbesar yang ia tinggalkan, meski keberadaannya sendiri hingga kini masih misterius.

Kasus penculikan Wiji Thukul memperlihatkan betapa rumitnya hubungan antara kekuasaan, hukum, dan rakyat. Ketika negara tidak mampu memberi kepastian atas hilangnya seorang warganya, apalagi seorang yang vokal membela rakyat kecil, maka rasa percaya publik ikut terkikis. Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab masih terus menggantung. Berbagai desakan dari keluarga, aktivis, hingga lembaga HAM internasional pun belum berhasil mendorong negara untuk benar-benar tuntas menyelesaikan kasus ini.

Di sisi lain, kisah Wiji Thukul kini banyak dikenang oleh generasi muda lewat buku, musik, teater, hingga film dokumenter. Ia bukan hanya seorang penyair yang hilang, melainkan simbol tentang betapa mahalnya harga kebebasan berbicara di negeri ini. Anak muda yang membaca puisinya bisa langsung merasakan bagaimana keresahan itu begitu dekat dengan realitas sehari-hari, meski ditulis puluhan tahun lalu. Inilah yang membuat Wiji Thukul tetap relevan, bahkan mungkin lebih relevan hari ini ketika ruang kebebasan kembali terasa menyempit.

Politik negeri kita memang sering dipenuhi janji-janji besar, tapi kasus seperti hilangnya Wiji Thukul jadi pengingat bahwa janji tanpa keberanian hanya akan jadi retorika. Setiap kali pemerintahan baru terbentuk, harapan untuk membuka kasus ini selalu muncul. Namun hingga kini, hasilnya nihil. Banyak yang menilai ada tembok besar bernama kepentingan politik yang menghalangi jalan menuju kebenaran.

Meski begitu, masyarakat sipil tidak pernah benar-benar diam. Komunitas seni, aktivis, hingga keluarga korban terus menjaga agar nama Wiji Thukul tidak dilupakan. Mereka menggelar acara mengenang, membaca puisinya, bahkan menjadikannya lagu perlawanan. Semua itu adalah bentuk perlawanan agar suara yang pernah dibungkam tidak benar-benar padam. Karena pada akhirnya, melupakan Wiji Thukul berarti membiarkan ketidakadilan menang.

Lebih jauh, kasus ini juga menjadi refleksi bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada slogan. Demokrasi sejati adalah ketika setiap warga negara, sekecil apa pun suaranya, berhak untuk berbicara tanpa takut hilang atau dibungkam. Jika suara kritis seperti Wiji Thukul bisa lenyap tanpa kejelasan, maka masih ada PR besar bagi bangsa ini untuk benar-benar menegakkan hak asasi manusia.

Hilangnya Wiji Thukul adalah luka, tetapi juga nyala api. Luka karena ia direnggut dari keluarganya tanpa kabar, nyala api karena puisinya terus hidup, membakar semangat banyak orang untuk melawan ketidakadilan. Selama kasus ini belum tuntas, selama negara belum berani membuka kebenaran, maka luka itu akan terus ada. Dan setiap kali kita membaca puisinya, kita diingatkan bahwa tugas untuk melawan belum selesai.

#TERBARU

#TEKNOLOGI

CakWar.com

Dunia

Politik Internasional

Militer

Acara

Indonesia

Bisnis

Teknologi

Pendidikan

Cuaca

Seni

Ulas Buku

Buku Best Seller

Musik

Film

Televisi

Pop Culture

Theater

Gaya Hidup

Kuliner

Kesehatan

Review Apple Store

Cinta

Liburan

Fashion

Gaya

Opini

Politik Negeri

Review Termpat

Mahasiswa

Demonstrasi

© 2025 Cak War Company | CW | Contact Us | Accessibility | Work with us | Advertise | T Brand Studio | Your Ad Choices | Privacy Policy | Terms of Service | Terms of Sale | Site Map | Help | Subscriptions