Mental Health Mahasiswa di Tengah Tugas Menumpuk dan Overthinking Masa Depan

Menjadi mahasiswa sering dianggap masa paling indah dalam hidup. Banyak orang bilang, inilah saat yang penuh kebebasan, pengalaman baru, dan ruang luas untuk bertumbuh. Namun di balik semua gambaran itu, ada kenyataan lain yang tidak selalu terlihat. Generasi mahasiswa sekarang menghadapi tekanan yang berat dari berbagai sisi. Tugas kuliah yang tidak ada habisnya, organisasi kampus, ekspektasi keluarga, sampai kecemasan tentang masa depan, semuanya bisa menumpuk menjadi beban mental yang sulit ditangani.

Setiap mahasiswa pasti pernah merasakan minggu yang penuh deadline. Ada tugas yang harus dikumpulkan, presentasi yang harus dipersiapkan, ditambah aktivitas organisasi yang menyita energi. Situasi ini sering kali membuat jam tidur kacau, makan tidak teratur, bahkan kesehatan fisik ikut menurun. Tidak jarang mahasiswa memaksakan diri hanya demi memenuhi tuntutan sistem akademik. Meski terlihat sepele, hal ini bisa menjadi pemicu awal gangguan mental seperti stres berlebihan atau burnout.

Masalah lain muncul ketika mahasiswa mulai membayangkan masa depan. Pertanyaan klasik seperti “setelah lulus mau kerja apa” atau “apakah jurusan yang dipilih sudah tepat” bisa menjadi sumber overthinking yang luar biasa. Tekanan ini makin besar ketika melihat teman sebaya yang tampaknya lebih “sukses” di media sosial. Ada yang sudah magang di perusahaan besar, ada yang sibuk merintis bisnis, sementara sebagian lain masih berkutat dengan skripsi atau bahkan masih mencari arah hidup.

Fenomena perbandingan diri di era digital memang jadi masalah baru. Media sosial memberi ruang untuk pamer pencapaian, tapi di sisi lain membuat banyak mahasiswa merasa tidak cukup baik. Setiap scroll di timeline bisa memunculkan rasa minder. Akhirnya, kesehatan mental makin terganggu karena terus merasa tertinggal.

Padahal, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Jika stres dibiarkan menumpuk tanpa penanganan, bisa berubah menjadi masalah serius seperti kecemasan kronis atau depresi. Dampaknya tidak hanya pada akademik, tetapi juga pada relasi sosial dan motivasi hidup. Itulah mengapa semakin banyak pihak mulai mendorong pentingnya layanan konseling di kampus.

Beberapa universitas kini menyediakan fasilitas konseling gratis, meski tidak semua mahasiswa merasa nyaman untuk memanfaatkannya. Masih ada stigma bahwa pergi ke psikolog berarti lemah atau berlebihan. Padahal, berbicara dengan profesional justru bisa membantu mahasiswa memahami diri sendiri dan menemukan jalan keluar yang sehat.

Selain konseling, banyak mahasiswa mencoba cara sederhana untuk menjaga keseimbangan mental. Ada yang rutin berolahraga, menulis jurnal, atau meluangkan waktu untuk hobi kecil seperti membaca dan menonton film. Aktivitas semacam ini mungkin terlihat sederhana, tetapi bisa membantu otak beristirahat dari tekanan akademik. Bahkan, sekadar ngobrol santai dengan teman dekat sering kali menjadi pelepas stres yang ampuh.

Dukungan lingkungan juga tidak kalah penting. Kampus sebaiknya mendorong budaya yang lebih inklusif, di mana mahasiswa bisa saling mendukung tanpa saling menghakimi. Organisasi kampus dan komunitas bisa menjadi ruang aman untuk berbagi cerita. Sering kali yang dibutuhkan mahasiswa hanyalah didengar dengan tulus.

Peran keluarga juga sangat menentukan. Banyak mahasiswa merasa stres karena tuntutan orang tua yang tinggi. Harapan agar anak mendapatkan nilai sempurna, lulus tepat waktu, atau langsung mendapat pekerjaan mapan bisa terasa berat. Padahal, dukungan sederhana seperti memberikan semangat atau menanyakan kabar dengan tulus bisa membuat perbedaan besar.

Kesehatan mental mahasiswa pada akhirnya bukan hanya soal beban tugas atau skripsi yang menumpuk. Ini juga tentang bagaimana mereka menghadapi realitas kehidupan yang penuh ketidakpastian. Dunia kerja ke depan memang tidak mudah, tetapi mahasiswa tidak seharusnya merasa hancur bahkan sebelum memulai perjalanan.

Menjaga kesehatan mental bukan berarti menghindari masalah, melainkan membekali diri dengan cara yang sehat untuk menghadapinya. Mahasiswa yang mampu menyeimbangkan akademik, pekerjaan, dan kehidupan pribadi akan lebih siap menghadapi masa depan. Dan meski tantangannya besar, pengalaman ini bisa menjadi bagian penting dari proses pendewasaan.

Masa kuliah memang bisa disebut masa emas, tetapi emas juga butuh ditempa agar bisa bersinar. Begitu pula dengan mahasiswa yang sedang berjuang menjaga kesehatan mental di tengah tekanan. Nilai dan gelar hanyalah sebagian kecil dari perjalanan. Yang lebih penting adalah tetap waras, tetap berani, dan tetap percaya bahwa diri sendiri punya kapasitas untuk melangkah maju.

#TERBARU

#TEKNOLOGI

CakWar.com

Dunia

Politik Internasional

Militer

Acara

Indonesia

Bisnis

Teknologi

Pendidikan

Cuaca

Seni

Ulas Buku

Buku Best Seller

Musik

Film

Televisi

Pop Culture

Theater

Gaya Hidup

Kuliner

Kesehatan

Review Apple Store

Cinta

Liburan

Fashion

Gaya

Opini

Politik Negeri

Review Termpat

Mahasiswa

Demonstrasi

© 2025 Cak War Company | CW | Contact Us | Accessibility | Work with us | Advertise | T Brand Studio | Your Ad Choices | Privacy Policy | Terms of Service | Terms of Sale | Site Map | Help | Subscriptions