Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis — Ketika Film Menjadi Teman Bertahan & Melepas Luka

Ada film yang hadir untuk menghibur, ada film yang ingin mengajak kita tertawa, dan ada juga film yang benar-benar menyentuh bagian terdalam dalam diri, membiarkan air mata mengalir sebagai bentuk pengakuan atas emosi yang selama ini terkubur. Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis adalah contoh film seperti itu.

Kisah ini berkisah tentang Tari, diperankan apik oleh Prilly Latuconsina, gadis muda yang sejak kecil menjadi saksi pertengkaran dan kekerasan di rumahnya. Ia hadir di layar dengan beban batin yang begitu berat dari pola hubungan yang menghantui setiap tarikan nafasnya. Tari selalu harus tampil kuat, menyembunyikan semua luka di balik sosok yang terlihat tegar. Tapi rasa itu tak bisa terus dibendung, dan saat film mulai membuka ruang untuk emosi, penonton pun ikut terbawa.

Sutradara Reka Wijaya memilih pendekatan puitis namun lugas dalam menyuguhkan cerita. Tari akhirnya menemukan tempat bernama support group, komunitas kecil di mana ia bertemu Baskara, pria yang temperamen namun juga sedang dihantui trauma sendiri. Pertemuan keduanya bukan hanya menambah warna, namun juga mengajarkan bahwa menanggung beban tidak harus sendirian. Pertemanan sederhana dalam kelompok itulah yang perlahan memberi ruang untuk kebebasan menangis tanpa takut dinilai lemah.

Film ini digarap dengan empati tinggi. Produser Umay Shahab pernah menyampaikan bahwa niat di balik kisah ini adalah untuk membentuk film menjadi semacam ‘platform penguat’. Bukan untuk mengglorifikasi kesedihan, tapi untuk mengakui bahwa setiap orang berhak merasakan rasa sakit dan berhak untuk bangkit dari dalamnya. Hal itu terasa kuat ketika Tari akhirnya melepaskan air mata—adegan yang bukan sekadar momen dramatis, tetapi pelepasan emosional yang tulus.

Tidak heran jika film ini cepat mendapatkan sambutan hangat. Dalam waktu singkat, jumlah penonton meroket, dan pada hari ke-18 tayang, film ini mencapai angka satu juta penonton nasional. Sebuah pencapaian luar biasa yang menunjukkan bahwa karya dengan hati bisa diterima luas. Itu bukan hanya soal akting Prilly atau chemistry dengan Pradikta Wicaksono, tapi juga soal makna yang terasa dekat dengan banyak orang.

Yang unik, film ini ternyata diadaptasi dari lirik lagu berjudul Runtuh karya Feby Putri dan Fiersa Besari. Sebuah lagu emosional diubah menjadi visual yang mengajak penonton memahami rasa terluka yang tercurah dari lirik. Dulu film sering didasari novel atau cerita panjang. Tapi kali ini, lirik yang hanya beberapa bait memberikan ruang besar bagi imajinasi dan kekuatan visual untuk berkembang, dan itu berhasil membangun kedekatan emosional yang kuat.

Dalam banyak adegan, rumah tidak menjadi tempat nyaman bagi Tari. Adegan-adegan awal menggambarkan ketegangan, teriakan orang tua, hingga kesendirian Tari di sudut rumah itu terasa menusuk. Namun seiring film berjalan, ketika Tari mulai membuka diri lewat kelompok, lokasi tidak lagi sekadar latar. Ia menjadi simbol perjalanan menyembuhkan diri.

Dukungan dari support group pun terasa penting. Ini bukan drama konfrontasi besar, tapi hubungan antar manusia yang saling memberi kekuatan. Baskara adalah teman sejati, meski ia sendiri menderita. Mereka menawarkan sudut pandang bersama, bahwa perjalanan menyembuh bukan sekadar milik individu, tapi juga ruang kolektif. Salah satu momen paling mengharukan adalah ketika Tari menangis untuk pertama kali, disaksikan oleh orang-orang yang seharusnya memberinya harapan. Adegan itu bukan sekadar catharsis, tetapi pengingat bahwa air mata adalah bagian dari keberanian.

Secara sinematik, film tidak terlalu bergantung pada efek besar atau visual glamor. Scoring dan visualnya hadir dengan lembut, memberi ruang bagi emosi untuk tumbuh. Alurnya pun mengalir tanpa harus memaksakan klimaks. Namun ada juga kritik dari beberapa review yang menyoroti produser asal-usul ide yang terlalu klise atau dialog yang kadang terasa dipaksakan. Meski begitu, mayoritas penonton justru memuji bagaimana film ini ‘tidak menggurui’, cukup membuka ruang untuk merasakan dan berpikir.

Di media dan media sosial, film ini sering disebut sebagai “teman lembut untuk yang rapuh”, film yang mampu membuka diskusi soal kesehatan mental. Banyak yang membagikan cerita mereka sendiri—bagaimana menahan tangis karena tuntutan kuat agar terlihat baik-baik saja akhirnya dianggap normal. Film ini membuat tangisan bukan lagi tabu, tapi bagian dari proses healing.

Pada akhirnya, Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis bukan sekadar film. Ia adalah ajakan pelan tapi mendalam: bahwa merasakan sakit, mengakuinya, dan menyampaikan melalui air mata, bukan tanda kelemahan. Ia adalah teman yang menyisir luka dan memberi ruang untuk menghela napas lega.

#TERBARU

#TEKNOLOGI

CakWar.com

Dunia

Politik Internasional

Militer

Acara

Indonesia

Bisnis

Teknologi

Pendidikan

Cuaca

Seni

Ulas Buku

Buku Best Seller

Musik

Film

Televisi

Pop Culture

Theater

Gaya Hidup

Kuliner

Kesehatan

Review Apple Store

Cinta

Liburan

Fashion

Gaya

Opini

Politik Negeri

Review Termpat

Mahasiswa

Demonstrasi

© 2025 Cak War Company | CW | Contact Us | Accessibility | Work with us | Advertise | T Brand Studio | Your Ad Choices | Privacy Policy | Terms of Service | Terms of Sale | Site Map | Help | Subscriptions